Jakarta (eska) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, telah menandatangani perjanjian kerja sama, tentang Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) KTP dan Data Kependudukan dalam layanan DJP.
Dengan demikian, implementasi pengintegrasian NIK KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan mulai berjalan pada tahun 2023.
Yang perlu dicatat, meskipun NIK menjadi NPWP, tapi pengenaan pajak hanya berlaku bagi pihak yang sudah bekerja, atau memiliki penghasilan dengan besaran tertentu.
Dengan kata lain, tidak semua warga yang sudah memiliki KTP dan berumur 17 tahun otomatis menjadi wajib pajak.
Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), besaran penghasilan kena pajak (PKP) dikenakan untuk pihak dengan pendapatan Rp 60 juta per tahun atau di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Sehingga masyarakat yang memiliki penghasilan Rp 4,5 juta ke bawah tidak wajib membayar pajak.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, secara historis umur penggunaan NPWP lebih lama NIK. Namun, masifnya penggunaan NIK untuk berbagai persyaratan administrasi kependudukan dan perbankan membuat nilai kebermanfaatan NIK lebih besar dari NPWP.
“Selain itu, basis data NIK juga lebih besar dari NPWP. Pada akhirnya, nomor di NPWP menggunakan nomor di NIK,” ujar Prianto saat dilansir dari Kontan.co.id, Minggu (22/5/2022) pekan lalu.
Menurutnya, dengan adanya integrasi data NIK menjadi NPWP ini akan mendorong keefektifan pengawasan kepatuhan wajib pajak yang berbasis data matching. Dengan data matching, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) membandingkan data dari laporan SPT dengan data dari berbagai pihak. (red)