Jakarta (eska) – Di balik profesi jurnalis yang penuh dinamika dan tekanan, terdapat sisi gelap yang kerap tersembunyi: risiko tinggi terhadap kekerasan seksual dan gangguan kesehatan mental.
Menyadari hal ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar kegiatan pendampingan psikologis secara daring, khusus untuk anggota AJI yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, dari Sabtu (12/4/2025) hingga Minggu (13/4/2025), dengan menghadirkan praktisi psikologi bersertifikat internasional, Lim Swie Hok, sebagai narasumber utama.
Pada hari pertama, peserta diajak memahami bagaimana merespon dengan tepat saat menerima laporan kekerasan seksual. Menurut Lim, kunci utamanya adalah menciptakan rasa aman bagi korban.
“Berikan pundak, genggam tangan—hal kecil yang bisa membuat mereka merasa nyaman,” ujar Lim Swie Hok dalam sesi Sabtu (12/4/2025).
Ia juga menekankan pentingnya membiarkan korban mengekspresikan emosinya tanpa langsung “dihentikan” dengan tisu.
“Kalau korban menangis, jangan buru-buru kasih tisu. Biarkan mereka menangis dulu. Kalau air matanya udah bercampur ingus, baru deh dikasih,” tambahnya.
Selain itu, Lim mengingatkan agar petugas atau pendamping yang menerima laporan lewat hotline tidak menginterogasi korban secara mendalam.
“Hindari pertanyaan yang menggali terlalu dalam. Fokus pada membuat korban merasa didengar dan aman. Pastikan juga untuk tetap menghubungi mereka setelahnya, agar korban tahu mereka tidak sendirian,” tuturnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya AJI Indonesia dalam menciptakan ruang aman bagi jurnalis, terutama perempuan, yang kerap menjadi sasaran kekerasan seksual di lapangan maupun dalam lingkungan kerja.
Dengan pendampingan ini, AJI berharap semakin banyak jurnalis yang merasa berdaya dan pulih dari trauma, tanpa harus merasa sendirian menghadapi luka batin yang mendalam.(Zul)
Recent Comments